Selasa, 13 September 2016

Tempo.co RSS Feed: Ikan Sembilang Kelo Kunir dari Warung Pak Kasan  

Tempo.co RSS Feed
Situs Berita Tempo menyajikan liputan berita, video, gambar dan informasi online indonesia seputar bisnis, politik, pemilu, hukum, kriminal, korupsi, saham, ekonomi, internasional, selebritas, sepak bola liga inggris, liga champion, liga itali, liga spanyol, otomotif, pemilihan presiden 
Ikan Sembilang Kelo Kunir dari Warung Pak Kasan  
Sep 13th 2016, 13:02

Selasa, 13 September 2016 | 20:02 WIB

Ikan Sembilang Kelo Kunir dari Warung Pak Kasan  

Menu sop ikan sembilang di warung Pak Kasan, Kecamatan Bungah, Desa Mengarih, Kabupaten Gresik, yang terkenal. TEMPO/ENDRI KURNIAWATI

TEMPO.CO, Gresik -  Siang yang terik membuat perut saya makin keroncongan, sekembalinya dari kantor Bupati Gresik, bersama dua teman sekantor, Selasa, 13 September 2016. "Kita makan siang, yuk." Dua teman itu tentu saja setuju.

Makan apa di Gresik? Saya mengenal beberapa kuliner jagoan di kota industri itu. Di antaranya aneka makanan dari bandeng, udang, nasi krawu yang lauknya terbuat dari suwiran daging sapi dengan serundeng dan sambal, serta ikan sembilang. Kota di pesisir pantai utara Jawa Timur itu memang terkenal sebagai penghasil aneka makanan laut, meski Gresik bukan satu-satunya produsen makanan laut di provinsi itu.

Untuk siang yang panas, pilihan saya jatuh pada sup ikan sembilang. Sajian ini sangat khas Gresik. Tak ada di kota lain seperti Surabaya, tempat asal kami bertiga, atau Sidoarjo yang juga penghasil ikan terkemuka di Jawa Timur.

Ikan sembilang adalah ikan laut yang bentuknya mirip ikan patin. Hitam, dagingnya lembut namun kenyal. Lebih kenyal dibanding dengan daging ikan patin dan umumnya ikan air tawar.

Dari hasil tanya sana-sini, warung ikan sembilang yang terkenal kelezatannya adalah warung Pak Kasan di Desa Mengarih, Kecamatan Bungah. Desa Mengarih kami jangkau dengan mobil sekitar 30 menit bermobil melalui tol Manyar.

Warung Pak Kasan jauh dari jalan besar atau keramaian. Dari Jalan Raya Bungah, untuk bisa sampai ke sana, kami harus melalui jalan dusun terbuat dari konblok yang sebagian miring ke kiri dan ke kanan. Di samping jalan itu, sejauh mata memandang hanyalah pohon bakau dan pohon-pohon lain yang meranggas. Rumah penduduk hanya satu-dua saja, terpencar-pencar.
Melalui jalanan seperti itu, saya menebak-nebak seperti apakah warung Pak Kasan? Makanan seperti apa yang membuatnya tersohor meski berada di tempat terpencil? Berdagang kok di tempat terpencil? Sungguh tidak lazim.

Saya sempat berpikir kami tersesat. Tapi sopir kami sangat yakin jalan yang dilaluinya seperti petunjuk orang yang ditanyainya di pinggir jalan besar. Sekitar 15 menit dari Jalan Raya Bungah, kami sampai pada jalan yang berbelok ke kanan. Di pengkolan, ada sebuah warung dari bambu. Di depannya, tiga laki-laki duduk mengobrol. Satu di antaranya makan dengan tangan. Tak mungkin warung itu, pikir saya. Kami ikut jalan itu berbelok ke kanan, meski kami tak tau pasti letak warung Pak Kasan.

Curiga kami kesasar, saya meminta sopir bertanya kepada seorang laki-laki yang menunggu gardu di pinggir jalan. Di seberang gardu itu ada empang atau tambak. "Itu warung Pak Kasan," kata lelaki paruh baya itu sambil menunjuk. Mobil pun berjalan mundur, lalu berbelok ke halaman warung. Di depan warung itu, turun dari mobil, saya masih bertanya untuk meyakinkan. "Ada ikan sembilang?" Lelaki kekar, satu dari mereka mengiyakan.

Warung Pak Kasan, yang terkenal dengan menu ikan sembilang.

Di warung itu, hanya ada menu utama: ikan sembilang kelo kunir. Ikan sembilang dimasak dengan bumbu kunyit. Orang juga menyebutnya dengan asem-asem.

Lelaki kekar itu pula yang menyajikan pesanan kami. Dialah Pak Kasan. Ikan diwadahi mangkuk, terpisah dengan nasi putih. Satu porsi mendapat satu potong ikan. Saya memesan kepala. Ukurannya jumbo, penampilannya menantang. Kuahnya kuning agak pekat karena kemiri. Orang yang kurang bergaul dengan bumbu, pasti akan menduganya dibubuhi santan. Rasanya segar, paduan antara gurih, asam, dan pedas.

Penggemar pedas akan senang memecahkan cabai-cabai utuh dalam kuah itu. Tapi mereka yang kurang suka, akan merasa kuah kelo kunir cukup pedas. Sudah nendang.

Makanan disajikan dengan sendok dan garpu. Tapi saya memilih makan dengan tangan, seperti lelaki yang makan di bale-bale di depan warung. Saya biasa turut cara orang lokal menikmati makanan. Saya percaya, cara orang setempat adalah itu cara terbaik menikmati makanan.

Saya merobek kulit di kepala ikan, lalu merasainya. Berikutnya, saya menyeruput bibir ikan. Kulitnya kenyal, tanda masih segar. Berikutnya daging di bagian pipi. Menurut banyak pakar kuliner, ini bagian terbaik ikan. Rasanya gurih, teksturnya kenyal tapi lembut. Kuah yang rasanya asam pedas berpadu dengan harmonis dengan nasi dan kepala ikan.

Makan kepala ikan memang tidak semudah makan daging ikan yang saya pesan di mangkuk lain. Tapi ini justru seninya. Dan agak sulit menguliti dan mengelupas bagian kepala adalah harga kenikmatan yang layak dibayar.

Siang itu pesta yang sebenarnya. Kelezatan warung bambu yang didirikan lebih dari 15 tahun lalu itu setara hotel bintang lima.

Saya, dua teman saya, dan sopir yang mengantar, puas atas sajian ikan sembilang Pak Kasan. Kami sangat beruntung karena biasanya, kata Pak Kasan, orang mengantre untuk mendapatkan sajian itu. Langganannya dari berbagai kota. Ada pula orang-orang asing. Orang Belanda, Australia, dan Perancis.

Kata Pak Kasan, salah satu pelanggannya adalah orang Surabaya yang jika datang biasa memesan 50 porsi. Saat kami selesai makan pun ada pengunjung berseragam pegawai negeri yang memesan 12 porsi. Harganya Rp18 ribu untuk sepiring nasi putih, seporsi yang berisi sepotong ikan, dan segelas es teh. "Tak jarang pengunjung tidak kebagian," ujar Pak Kasan.

Apalagi jika ikan sembilang sulit didapat. Jika pasokan sedikit, porsi yang disediakan pun tak banyak. Jika taka da sembilang, Pak Kasan menggantinya dengan menu tumis cumi-cumi dan ikan manyung. "Itu kalau terpaksa."

Pelanggan Pak Kasan pun fanatik. Seperti Dewi Khadijah, misalnya. "Banyak warung sembilang, tapi tidak sesegar ini," ujar perempuan lewat tengah baya, penduduk Gresik, yang datang bersama suaminya itu. Ia datang sepulang dari rapat organisasi perempuan Nahdlatul Ulama. "Datanglah lagi." Dewi meminta saya datang kembali ke warung itu sembari menikmati ikan itu.

Ajakan Dewi kembali ke warung Pak Kasan layak dipertimbangkan. Ikan sembilang segar-gurih, kuah lezat, harga pantas. Soal jalanan dan tempat yang kurang bagus, akan terbayar oleh rasa ikan sembilan kelo kunir kelas papan atas itu.


ENDRI KURNIAWATI

Let's block ads! (Why?)

You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our polices, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar